Ditulis oleh: Al Ustadz Muhammad Afifuddin as Sidawy
Asal kata شِيْعَةٌ diambil dari kata مُشَايَعَة yang berarti مُتَابَعَة dan مُطَاوَعَة (mengikuti dan mentaati), bentuk jama’ahnya adalah شيع (An-Nihayah, karya Ibnu Atsir (2/244).
Kata شِيْعَةْ hanya digunakan untuk pengikut dan pembela seseorang, dikatakan فُلَانمِنْشِيْعَةُفُلَان “Fulan termasuk syi’ahnya fulan”, artinya termasuk orang yang mengikutinya.
Az-Zabidiy menjelaskan, ”Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara adalah syi’ah, setiap orang yang membela seseorang yang lain dan menjadi hizbnya (golongannya) disebut sebagai syi’ahnya . . .” [Asy-Syi’ah wa At-Tasyayu’, hal. 27]
Pada generasi awal Islam, kata ini hanya digunakan dengan makna hakiki dan aslinya seperti yang diuraikan di atas, secara kondisi nyata kata ini digunakan untuk partai politik dan pihak yang kontra dalam beberapa permasalahan yang terkait dengan hukum dan pemerintahan.
Kata ini sendiri baru tersebar luas penggunaannya setelah terbunuhnya Khalifah Utsman sebagai syahid. Tepatnya ketika terjadi ikhtilaf antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Siapa saja pada saat itu yang berada di barisan Ali bin Abi Thalib, membela dan menolongnya disebut syi’ah Ali. (شِيْعَةُعَلِي)
Sementara yang berada dibarisan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan membelanya disebut syi’ah Mu’awiyah. (شِيْعَةُمُعَاوِيَة)
Pada masa itu kata ini juga dipakai oleh persatuan dari Ali dan Bani Abbas yang menamakan dirinya sebagai شِيْعَةُاَلِمُحَمَّد sebagai pihak yang bersebrangan dengan شِيْعَةُبَنِيأُمَيَة yang kemudian dikenal dengan nama العُثْمَانِيَّة, sementara pihak pertama lebih dikenal dengan istilah العَلَوِيَّةْ, namun nama شِيْعَة masih melekat pada kedua belah pihak. [Asy-Syi’ah wa At-Tasyayu’, hal. 28-29]
Kondisi ini terus berlangsung selama masa pemerintahan Bani Umayyah.
Dengan berjalannya waktu dan peristiwa nama Syi’ah kemudian menjadi istilah khusus bagi yang menunjukkan loyalitas kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya (Ahlul Bait) dan pihak yang meyakini beragam akidah tertentu yang diadopsi dari pemahaman sesat Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi. Mereka menyusup ke dalam tubuh muslimin guna mengaburkan dan merusak prinsip dan akidah-akidah Islam. [Asy-Syi’ah wa At-Tasayyu’, hal.31]
Abdullah bin Saba’ dahulu adalah seorang Yahudi yang berasal dari Shan’a – Yaman-. Ibunya adalah Saudaa’ (wanita hitam), dia biasa disebut dengan “Ibnu Saudaa’”.
Pada masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan , dia pura-pura masuk Islam dengan tujuan merusak Islam dari dalam. Menebarkan ragam paham dan akidah sesat dan menghembuskan nafas kebencian kepada khalifah ‘Ustman bin Affan , mencela dan memprovokasi massa untuk melakukan gerakan pemberontakan.
Ibnu Saba’ pun mengelilingi wilayah-wilayah kekuasan Islam untuk mengkampanyekan misinya , dia mulai dengan negeri Hijaz, lalu Basrah, Kufah kemudian Syam namun dia tidak berhasil menembuskan apa yang menjadi tujuannya hingga dia diusir dari Syam.
Akhirnya Abdullah bin Saba’ masuk wilayah Mesir dan tinggal di tengah-tengah penduduk Mesir menampilkan ibadahnya dan kebaikan-kebaikannya. Di sanalah dia mendapatkan sambutan dan respon dari masyarakat Mesir, dia pun mulai menebarkan makar kejinya, menghembuskan paham sesatnya dan mengkampanyekan misi jahat.
Awal mula yang dia hembuskan adalah, “Sungguh aneh! Seseorang yang meyakini Isa bin Maryam akan kembali (turun) ke muka bumi (di akhir zaman) tapi dia mendustakan Nabi Muhammad kembali ke muka bumi padahal beliau lebih berhak kembali dari pada Isa bin Maryam!! Masyarakat Mesirpun menerima paham sesat ini dan menyebarluaskannya di kalangan mereka.
Inilah paham raj’ah pertama yang dihembuskan Ibnu Saba’ yang kemudian dia lanjutkan keyakinan ini pada Ali bin Abi Thalib, keturunan-keturunan beliau dan imam-imam ahlul bait. Dia sebarkan paham bahwa mereka semua akan raj’ah (kembali) hidup di muka bumi untuk memerangi musuh-musuhnya.
Setelah paham pertama sukses tersebar, Ibnu Saba’ menghembuskan paham sesat berikutnya, ”Dahulu ada sekitar 1000 nabi, masing-masing nabi memiliki Washiy (yang ditunjuk sebagai pengganti nabi). Ali bin Abi Thalib adalah washiy-nya Nabi Muhammad. Bila Muhammad adalah penutup para nabi maka Ali adalah penutup para washiy.” [1]
Paham sesat inipun dengan cepat merambah dan menjalar ke tubuh muslimun terutama yang memiliki loyalitas kepada Ali bin Abi Thalib. Merekapun memuji dan mengelu-elukan Ibnu Saba’ sebagai pembela Ali. Pada masa kekhilafahan Ali diapun termasuk golongan orang yang dekat. Bahkan disebutkan dalam sebagian kitab sejarah, Ibnu Saba’ diminta duduk di bawah mimbar tempat Ali bin Abi Thalib khutbah. [Riwayat Asy-Sya’biy, dinukil oleh Abdul Qadir bin Thahir Al-Istirayiniy dalam kitabnya: Al-Farqu bainal Firaq, hal. 178, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut-Lebanon, tanpa tahun)
Mengambil kesempatan di posisi yang dekat inilah dia mengembangkan paham sesatnya tentang Ali bin Abi Thalib. Diapun mengkampanyekan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Nabi, bukan Muhammad , Jibril telah berkhianat dalam menyampaikan wahyu [2]. Bahkan dia juga menebarkan keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah tuhan.
Tatkala Ali bin Abi Thalib terbunuh, Ibnu Saba’ dan pengikutnya (Saba’iyyah) tidak percaya beliau telah mati, mereka yakin Ali bin Abi Thalib diangkat ke langit sebagaimana Isa bin Maryam dan akan turun dari langit menguasai seluruh dunia.
Sebagian Saba’iyyah meyakini Ali bin Abi Thalib adalah Al-Mahdi yang dinanti.
Sebagian yang lain meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib ada di awan, petir adalah suaranya dan kilat adalah cambuknya. Sebagian mereka bila mendengar suara petir spontan mengatakan:
عَلَيْكَالسَّلَاميَاأَمِيرُالُمؤْمِنِين
“Atasmu keselamatan wahai amirul mukminin.”
Mayoritas paham ghuluw tersebut tersebar pada masa hidup Khalifah Ali bin Abi Thalib dan lebih dahsyat lagi fitnahnya sepeninggal beliau.
Tatkala paham kufur tersebut sampai ke telinga sang khalifah Ali bin Abi Thalib , beliaupun memerintahkan mereka untuk dihukum dengan hukuman berat, yaitu dibakar hidup-hidup dalam sebuah parit, sementara Ibnu Saba’ diasingkan di wilayah Saabaath-Mada-
Dari Abdullah bin Saba dan pengikutnya (Saba’iyyah) inilah bermunculan sekte-sekte Rafidhah ekstrem (غُلَاةٌ) dengan ragam paham sesat bahkan kufur, namun semuanya bersembunyi di balik kedok “Cinta Ali dan Ahlul Bait”.
Setelah paham itu sukses diapun melanjutkan dengan menghembuskan virus sesat lainnya: “Siapakah yang lebih zalim dari pada seseorang yang tidak menunaikan wasiat Rasulullah dan menyerang washiy-nya Rasulullah?”
Dia juga memprovokasi, “Utsman telah merampas wasiat tersebut tanpa hak, washiy Rasulullah adalah Ali”. Diapun menggalakkan ‘amar ma’ruf nahi mungkar dalam artian menghujat dan mencela Khalifah Utsman dan segenap umara’ muslimin.
Fitnah inipun disambut oleh banyak pihak yang biasa membuat onar dalam negeri, munculah tokoh-tokoh gerakan reaksioner semisal Khalid bin Muljam, Sauda’, dan Kinanah bin Bisyr. Fitnah inipun disebarkan ke seluruh penjuru wilayah Islam dan berujung kepada pemberontakan terhadap Khalifah Utsman dan terbunuhnya beliau.
Dengan fitnah ini Ibnu Saba dinyatakan sebagai orang pertama yang mencela sahabat bahkan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman.
Hal ini diakui oleh tokoh syi’ah An-Naubikhtiy, dia berkata,”Dia adalah orang pertama yang terang-terangan mencela Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat dan bara’ dari mereka semua.” Pernyataan ini juga diumumkan oleh tokoh syi’ah lain, Sa’ad bin Abdillah Al-Qummiy.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam “Lisanul Mizan” menukil ucapan Suwaid bin Ghafalah,”Abdullah bin Saba adalah orang pertama yang terang-terangan mencela Abu Bakar dan Umar.
Celaan mereka terhadap sahabat berlanjut hingga mereka mencela istri Nabi, ‘Aisyah, dan para pembawa riwayat-riwayat hadits nabi seperti semisal Abu Hurairah.
Nampak dari tindakan ini makar jahat mereka yang sesungguhnya, yaitu menikam Rasulullah dan memberangus syariah Islam.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 23
Catatan Kaki:
- Para pakar sejarah menyebutkan, semasa Ibnu Saba’ sebagai Yahudi, diapun punya paham bahwa Yahya bin Nun adalah washi-nya Musa, diapun melakukan hal serupa terhadap Ali bin Abi Thalib . (Al-Milal wan Nihal, hal. 174)
- Pada sebagian sekte Rafidhah ekstrem sampai sekarang bila mereka selesai shalat, mereka mengucapkan خَانَالأَمِين (telah berkhianat al amin -yakni Jibril-) ke kanan dan ke kiri sebagai ganti salam.