Dakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala menurut pandangan syariat adalah amalan dan bentuk ibadah yang besar, agung, dan mulia, apabila syaratnya terpenuhi dan tidak ada penghalangnya.
Dalil yang menunjukkan agungnya tugas ini sangat banyak, baik dari al- Qur’an, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun amalan para nabi, rasul, serta orang-orang saleh.
Di antaranya ialah firman Allah,
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣
Dan siapa lagi yang lebih baik ucapannya dari seseorang yang menyeru kepada Allah dan beramal saleh serta berkata, “Sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushilat: 33)
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨
Katakanlah, “Ini adalah jalanku. Aku menyeru kepada Allah di atas ilmu, aku dan orang-orang yang mengikutiku (menyeru kepada Allah di atas ilmu). Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.” (Yusuf: 108)
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
“Dan serulah ke jalan Rabbmu, dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, berdialoglah bersama mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl: 125)
Secara umum, seluruh perjalanan hidup Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, jihad beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah; amar ma’ruf dan nahi mungkar yang beliau lakukan adalah dakwah; mendidik umat adalah dakwah nasihat dan arahan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah safar atau mukim beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, malam atau siang hari, adalah dalam rangka berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Barang siapa meneladani beliau, dia akan melakukan dakwah sebagaimana yang beliau lakukan sesuai dengan kemampuannya.
Dakwah memiliki tujuan dan langkah menuju keberhasilan. Di antara tujuannya adalah :
Menyambut perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam surat an-Nahl ayat 125.
Meneladani para rasul dan para nabi yang Allah subhanahu wa ta’ala utus sebagai dai kepada seluruh manusia.
Meneladani generasi setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi para pewarisnya, yaitu kalangan imam dan para mujahid yang mengangkat panji Islam.
Menyampaikan hidayah kepada makhluk agar mereka menggunakan waktu untuk ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan segala bentuk kemungkaran.
Mengharapkan nilai dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, karena melaksanakan kewajiban adalah dakwah kepada jalan Allah subhanahu wa ta’ala, serta melaksanakan amalan merupakan hal yang paling mulia dan utama.
Di antara langkah dakwah untuk meraih keberhasilan adalah (1) Berilmu tentang agama; (2) Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (3) Ikhlas dan (4) Sabar. (Risalah Nashihatun Ghaliyatun wa Kanzun Tsamin hlm. 3, asy-Syaikh Zaid al-Madkhali)
Para Nabi dan Rasul, Teladan Para Dai
Berdakwah ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala adalah tugas mulia nan suci yang telah diemban oleh para nabi dan rasul, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat.
dakwah
Tugas ini sangat agung dan berat. Tugas ini membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, secara lahir dan batin. Tugas ini adalah perjuangan yang membutuhkan keikhlasan yang tinggi, kesabaran yang kuat, kejujuran langkah di atas rel agama tanpa menengok ke kiri dan ke kanan, tawakal dan keyakinan yang mendalam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan membantu dan menolong setiap usaha dan derap langkahnya.
Di antara contoh keikhlasan para nabi dan rasul dalam memikul amanat ini, ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang ucapan Nabi Nuh ‘alaihis salam
وَمَآ أَسَۡٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍۖ إِنۡ أَجۡرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٠٩
“Aku tidak menuntut imbalan kepada kalian atas seruan-seruan itu, namun imbalanku hanya ada di sisi Rabbul ‘alamin.” (asy-Syu’ara: 109)
Ayat di atas memberikan pelajaran agar setiap dai selalu memantau niatnya. Jangan sampai niat dakwahnya keluar dari rel keikhlasan, seperti mencari dunia yang diidamkan, kedudukan yang diharapkan, sanjungan yang dicari, posisi di hati para pengikut, atau banyaknya pengikut yang membanjiri majelisnya.
Apabila niatan-niatan ini menjadi motor penggerak seorang dai dalam berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bisa jadi dia akan memperoleh yang diniatkannya. Akan tetapi, nihil dari nilai akhirat, pengorbanan yang disodorkan akan tertolak, kegagalan menganga di depan mata, ditambah lagi azab dan ancaman Allah subhanahu wa ta’ala menunggu dalam kehidupan yang kekal kelak.
Adakah kerugian yang lebih besar dari semua ini? Saat dia menyangka telah melakukan yang terbaik di dalam hidup?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Aku Dzat yang paling tidak memerlukan sekutu dalam bentuk apa pun. Barang siapa mengerjakan satu amalan yang dia sekutukan padanya bersama-Ku sesuatu selain-Ku, niscaya Aku biarkan dia dan syiriknya.” (HR. Muslim no. 5300)
Setelah menjelaskan bahwa riya’ yang murni adalah akhlak orang munafik dan orang kafir, Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ al-‘Ulum wal Hikam (1/24) mengatakan, “Riya’ yang murni ini hampir tidak ada pada diri seorang mukmin dalam ibadah shalat dan ibadah puasa. Akan tetapi, terkadang muncul pada amalan yang terkait dengan orang lain, seperti sedekah yang wajib, haji, dan amalan lahiriah lain yang menyangkut orang lain. Sesungguhnya, keikhlasan pada amalan tersebut sangatlah sulit. (Apabila amalan tersebut disertai riya’) tidak diragukan oleh seorang muslim bahwa nilai pahalanya akan terhapus dan pelakunya pantas mendapatkan kebencian dan hukuman dari Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mengkaji ucapan Ibnu Rajab rahimahullah di atas, dakwah adalah amalan lahiriah yang tampak manfaatnya bagi orang lain. Sungguh, keikhlasan dalam berdakwah amat sulit dan berat. Karena itu, butuh perjuangan yang keras untuk menjadi orang yang ikhlas berdakwah.
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, “Belajarlah niat (keikhlasan), sesungguhnya niat lebih tinggi daripada amal.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 3/70)
Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati terwujud dengan bagusnya amal. Baiknya amal ada dengan bagusnya hati.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam al- Hilyah, 2/199)
Selain meneladani keikhlasan para nabi dan rasul dalam berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, para dai pun semestinya meneladani mereka dalam hal kelurusan langkah dan jalan dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Artinya, dakwah yang dia lakukan tidak keluar dari koridor syariat dan tidak melenceng dari kelurusan jalan wahyu. Dia tidak mengada-ada dalam jalan dakwah, karena hal ini termasuk kebid’ahan dalam agama dan sebuah kesesatan dalam syariat.
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan amalan yang tidak ada perintahnya dariku, amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 3243)
Memulai dari Diri Sendiri
Setelah mengetahui besar dan mulianya kedudukan dakwah, yang akan selalu diiringi ujian dan cobaan, sepantasnya setiap dai melakukan pembenahan diri dan introspeksi. Jangan sampai usaha yang dia lakukan menjadi senjata makan tuan di kemudian hari.
Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela perilaku orang Yahudi dan Nasrani,
أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤
“Apakah kalian mengajak manusia kepada kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitab? Tidakkah kalian berpikir?” (al-Baqarah: 44)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Sangat besar kebencian di sisi Allah karena kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat.” (ash-Shaf: 2—3)
Seorang dai tentu berharap pengabdiannya diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan bernilai tinggi di sisi-Nya. Di samping itu, dia berharap agar semua hamba Allah subhanahu wa ta’ala mendapatkan hidayah melalui tangannya. Hal ini sangat terkait dengan keikhlasan dan kejujuran sang dai dalam berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, dia harus selalu melakukan koreksi pada lahiriah dan batiniah dirinya. Renungkan baik-baik bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya,
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa, sesungguhnya setiap manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-Ashr: 1—3)
Dalam Hasyiyah Tsalatsatil Ushul (hlm. 13), asy-Syaikh Abdur Rahman bin Qashim al-Hambali an-Najdi berkata, “Di dalam surat yang mulia ini, terdapat tanbih (peringatan) bahwa semua jenis manusia berada dalam kerugian, selain orang-orang yang telah dikecualikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Mereka adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan (1) kekuatan ilmu dengan cara beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan, (2) kekuatan amaliah dengan cara melakukan ketaatan. Ini adalah lambang kesempurnaan pada dirinya.
Setelah itu, dia berusaha menyempurnakan orang lain dengan mewasiatkan (mendakwahkan) apa yang telah dia ilmui dan amalkan, serta memerintahkan kepadanya. Yang akan mengendalikan semua ini adalah kesabaran. Inilah puncak kesempurnaan. Banyak sekali hal yang semakna dengan ini dalam al-Qur’an.”
Di sinilah letak makna ucapan Ibnu Qayyim rahimahullah tentang tingkatan jihad dalam kitab beliau, Zadul Ma’ad (3/10), yang dinukil oleh asy-Syaikh Abdur Rahman bin Qashim dalam Hasyiyah Tsalatsatil Ushul (hlm. 14) sebagai berikut.
Jihad melawan diri ada empat tingkatan :
Menjihadi diri agar mempelajari petunjuk dan agama yang haq, yang tidak ada kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup di dunia dan akhirat kecuali dengan sebabnya.
Apabila hal ini luput darinya, dia akan celaka di dunia dan di akhirat.
Menjihadi diri agar mengamalkan ilmunya.
Jika dia tidak mengamalkan ilmunya, bisa memudaratkan dirinya atau tidak bermanfaat.
Menjihadi diri agar mau berdakwah kepadanya, mengajarkan orang yang tidak mengetahui.
Jika tidak melakukannya, dia termasuk orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa petunjuk dan bayyinah (keterangan yang jelas). Ilmunya tidak akan berguna dan tidak akan menyelamatkan dirinya dari azab Allah subhanahu wa ta’ala.
Menjihadi diri agar mau bersabar untuk memikul beban dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dari segala gangguan dan dia memikulnya karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Jika telah sempurna pada dirinya empat hal ini, niscaya dia dinamakan seorang rabbani.
Para salaf umat ini telah bersepakat bahwa seseorang tidak dikatakan rabbani hingga mengilmui kebenaran, mengamalkan, dan mengajarkannya. Barang siapa berilmu, mengamalkan, dan mengajarkannya, niscaya dia menjadi orang yang mulia di hadapan malaikat.
As-Sa’di rahimahullah dalam syarah beliau terhadap Kitab at-Tauhid karya asy-Syakh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengomentari penulisan bab yang beliau buat dalam kitab tersebut,
“Urutan yang disebutkan oleh pengarang (asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) sangat tepat. Pada babbab sebelumnya, beliau telah menyebutkan wajibnya mentauhidkan Allah dan keutamaannya, lalu mendorong manusia untuk bertauhid dan menyempurnakan tauhid, merealisasikannya secara lahir dan batin, serta takut dari lawan tauhid tersebut, yaitu syirik. Ini semua adalah usaha menyempurnakan diri sendiri.
Setelah itu, dalam bab ini (seruan menuju syahadat La ilaha illallah) beliau menyebutkan usaha untuk menyempurnakan orang lain dengan cara mengajak mereka kepada kalimat tauhid. Ketauhidan seseorang hamba tidak sempurna hingga dia menyempurnakan dirinya dengan semua tingkatan tauhid, lalu berusaha menyempurnakan orang lain. Inilah langkah yang ditempuh oleh seluruh nabi.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 20)
Memulai dari Tauhid
Mengapa kita harus memulai dari tauhid di dalam dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam risalah Mujmal ‘Aqidah as-Salaf ash-Shalih (hlm. 6) berkata, “Akidah adalah asas agama dan intisari dakwah para rasul, sejak rasul yang pertama, yaitu Nabi Nuh ‘alaihissalam sampai rasul yang terakhir.”
Selain itu, masalah akidah inilah yang akan ditanya kelak pada hari kiamat, seperti disebutkan dalam sebuah atsar, ‘Dua kalimat yang akan ditanyakan tentangnya orang dahulu dan orang belakangan, yaitu: Apa yang kalian sembah? Bagaimana tanggapan kalian terhadap para rasul?’
Kedua kalimat inilah yang akan ditanya setiap hamba kelak pada hari kiamat. Jawaban yang pertama adalah syahadat La Ilaha Illallah. Jawaban yang kedua adalah syahadat Muhammad Rasulullah.”
Tauhid
As-Sa’di rahimahullah dalam kitab Qaul as-Sadid (hlm. 3—9) menjelaskan tentang keutamaan tauhid yang menjadi inti sari dakwah para rasul. Di antaranya:
Tauhid adalah sebab yang paling besar untuk terlepas dari segala marabahaya dunia dan akhirat, menolak segala hukuman pada keduanya,
Tauhid menyebabkan seseorang tidak kekal di dalam neraka jika di dalam hati orang tersebut masih terdapat sebesar biji sawi dari keimanan,
Tauhid menyebabkan seseorang mendapatkan petunjuk dan rasa aman yang sempurna di dunia dan di akhirat.
Tauhid adalah satu-satunya sebab untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, karena orang yang paling berbahagia mendapat syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah ikhlas dari dalam hatinya.
Teluruh amal dan ucapan lahiriah akan diterima, serta sempurna dan bernilai tergantung dengan tauhid.
Tauhid memudahkan seseorang untuk melaksanakan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran, serta menyenangkannya dari musibah.
Tauhid membantu seseorang menemukan keringanan saat menjumpai sesuatu yang tidak disukainya, ringan atasnya segala yang menyakitkan.
Tauhid memerdekakan manusia dari perbudakan kepada makhluk, ketergantungan dengan mereka, ketakutan kepada mereka, harapan kepada mereka, dan berbuat untuk mereka.
Tauhid menjadikan nilai amalan berlipat-lipat tanpa batas,
Tauhid menjamin kemenangan dengan adanya pertolongan di dunia.
Tauhid menjadi sebab seseorang mendapat kemuliaan, ketinggian, kemudahan, diperbaikinya segala ucapan dan amalan,
Tauhid menjadi sebab Allah subhanahu wa ta’ala akan menolak segala kejelekan hidup, baik di dunia dan di akhirat, dan menggantinya dengan ketenangan dan kenyamanan.”
Ibnu Qayyim rahimahullah dalam Madarijus Salikin (3/443) berkata, “Tauhid adalah awal dakwah para rasul, jalan pertama yang harus dilalui, dan tempat bertolak untuk melangkah menuju Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ
“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya dan dia menyerukan, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada sembahan kalian selain-Nya’.” (al-A’raf: 59)
قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۚ
“Hud berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah Allah, tidak ada sembahan kalian selain-Nya’.” (al-A’raf: 65)
قَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥۖ
“Shalih berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah Allah, tidak ada sembahan kalian selain-Nya’.” (al-A’raf: 73)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul; (mereka berkata), ‘Sembahlah Allah subhanahu wa ta’ala dan jauhilah thagut’.” (an-Nahl: 36)
Tauhid adalah pembuka dakwah para rasul. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu yang beliau utus ke negeri Yaman,
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Hendaklah yang pertama kamu serukan agar mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Apabila mereka telah menyaksikan kalimat syahadat La Ilaha Illallah wa Muhammadun Rasulullah, beri tahukan kepada mereka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam… dst.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka menyaksikan bahwa tidak ada sembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.”
Berdasarkan ini semua, kewajiban yang paling wajib bagi seorang mukallaf adalah bersyahadat terhadap kalimat La ilaha illallah; bukan (langkah-langkah ahli filsafat yang tercela) seperti nazhar (meneliti dengan landasan akal semata), atau keinginan untuk meneliti bukan pula keragu-raguan.
Tauhid adalah hal pertama yang akan menjadikan seseorang masuk ke dalam Islam, sekaligus hal terakhir bagi seorang muslim ketika menutup hidupnya di dunia. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat La Ilaha Illallah, dia akan masuk ke dalam surga.”
Tauhid adalah kewajiban yang paling pertama dan yang paling akhir. Tauhid adalah urusan yang pertama dan yang terakhir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Kitabut Tauhid bab “Berdakwah kepada syahadat La Ilaha Illallah” saat menjelaskan pelajaran dari hadits pengutusan Mu’adz ke negeri Yaman,
“(1) tauhid adalah kewajiban yang paling pertama
(2) memulai dengan tauhid sebelum segala sesuatu walaupun shalat
(3) mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah makna syahadat La Ilaha Illallah
(4) ahli kitab terkadang tidak mengetahui maknanya, atau mengetahui maknanya tetapi tidak mengamalkannya
(5) mengajar dengan cara bertahap dan
(6) memulai dari yang paling penting (menauhidkan Allah) diikuti hal penting yang berikutnya….”
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdur Rahman
Sumber: http://asysyariah.com