Salafy Magelang AQIDAH,BLOG,KHUTBAH JUMAT,MANHAJ Menjaga Kesucian Darah, Harta, dan Kehormatan Sesama Muslim

Menjaga Kesucian Darah, Harta, dan Kehormatan Sesama Muslim

Menjaga Kesucian Darah, Harta, dan Kehormatan Sesama Muslim post thumbnail image

Di antara perkara yang sering merusak ukhuwah Islamiyah ialah adanya sikap dari sebagian kita yang tidak mau memaklumi bila saudaranya berbuat salah atau keliru. Padahal kesalahan yang dilakukan oleh seseorang itu bisa jadi karena lupa, salah paham, bodoh, karena belum tahu ilmunya atau karena terpaksa sehingga berbuat demikian.

Sikap pukul rata (gebyah uyah) ini banyak terjadi di kalangan kaum muslimin, bahkan juga di kalangan Ahlus Sunnah. Ketika ada orang yang berbuat salah, bukannya dinasihati atau diingatkan, malah dihadapi dengan sikap permusuhan. Terkadang digelari sebutan-sebutan yang jelek atau malah ia dijauhkan dari kaum muslimin.

Sikap yang lebih ekstrim dalam masalah ini adalah apa yang ditunjukkan kelompok Khawarij. Mereka lebih tidak bisa melihat saudaranya yang berbuat kesalahan. Orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa, dalam pandangan mereka, telah terjatuh dalam kekafiran hingga halal darah dan hartanya.

Kondisi ini tentu akan bermuara pada pecahnya ukhuwah di kalangan umat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim dengan sebab sebuah dosa atau kesalahan yang ia kerjakan, selama ia masih menjadi ahlul qiblat (masih shalat). Seperti dalam masalah-masalah yang masih diperselisihkan kaum muslimin di mana mereka berpendapat dengan suatu pendapat yang kita anggap salah, maka tidak bisa kita mengkafirkannya. Karena Allah memberi udzur kepada mereka. Allah berfirman:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ. لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Rabb mereka, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa): ‘Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): ‘Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami pikul. Maafkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’.” (Al-Baqarah: 285)

Disebutkan dalam riwayat yang shahih (HR. Muslim dari Abu Hurairah dalam Shahih beliau) bahwa Allah telah mengabulkan doa para nabi dan doa orang-orang beriman ini. Sehingga diangkatlah pena dari orang-orang yang berbuat kesalahan karena lupa atau karena ia tidak mengerti ilmunya. Juga bagi orang yang tidak sanggup memikul suatu beban.”

Orang-orang Khawarij tidak mau membedakan hal-hal tersebut. Menurut mereka, barangsiapa berbuat dosa maka dia menentang Al-Quran. Barangsiapa menentang Al-Quran berarti menentang Allah dan barangsiapa menentang Allah berarti dia kafir. Mereka menyamakan semua perbuatan salah dan menganggapnya sebagai kekafiran.

Syaikhul Islam melanjutkan: “Khawarij yang telah salah dalam hukum ini oleh Rasulullah diperintahkan untuk diperangi.
Rasulullah bersabda:

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sungguh jika aku sempat menjumpai mereka, aku akan perangi mereka, aku akan tumpas layaknya kaum Aad.” (Muttafaqun alaihi)
Allah juga memerintahkan untuk memerangi mereka. Allah berfirman:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِاللهِ

“Kalau ada dua kelompok kaum mukminin berperang maka damaikanlah keduanya. Kalau salah satunya memberontak, maka perangilah mereka sampai mereka kembali kepada Allah.” (Al-Hujurat: 9)

Ketika Ali bin Abi Thalib benar-benar menjumpai orang-orang Khawarij, maka beliau bersama para sahabat pun memerangi mereka. Begitupun seluruh imam baik dari generasi sahabat, tabi’in, atau setelah mereka sepakat bahwa Khawarij itu harus diperangi. Namun Ali bin Abi Thalib tidak mengkafirkan mereka.

Begitu pula sahabat yang lain seperti Sa’d bin Abi Waqqash dan lainnya, mereka juga memerangi orang-orang Khawarij. Namun mereka tetap menganggap Khawarij itu sebagai kaum muslimin. Sehingga cara memeranginya pun berbeda dengan memerangi orang kafir. Bila orang kafir diperangi maka hartanya menjadi ghanimah, wanita dan anak-anak mereka menjadi tawanan. Sedangkan memerangi Khawarij tidak demikian. Mereka hanya diperangi sampai mereka mau kembali ke jalan Allah dan kembali taat kepada penguasanya.

Ali bin Abi Thalib memerangi Khawarij setelah terbukti mereka menumpahkan darah dan merampas harta kaum muslimin dengan zalim. Ali bin Abi Thalib berkata: “Demi Allah, aku akan perangi mereka sampai tidak tidak tersisa 10 orang pun di antara mereka.”
Ketika para sahabat menyebut mereka sebagai kafir, maka Ali berkata:

“Tidak. Mereka justru lari dari kekufuran.”
Sikap orang-orang Khawarij yang demikian yakni khawatir terjatuh pada kekafiran inilah yang menyebabkan mereka memiliki sikap ekstrim dalam melihat perbuatan dosa. Apa akibatnya? Terjadilah perpecahan dan pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin.

Kesesatan Khawarij yang telah jelas diterangkan oleh nash dan disepakati kaum muslimin –bahkan membuat mereka boleh diperangi– tidak menyebabkan mereka boleh untuk dikafirkan. Apalagi beragam kelompok lain yang bermunculan pada masa ini, di mana mereka dihinggapi berbagai kekeliruan dan kebodohan, maka mereka tidak bisa untuk dikatakan sebagai kafir. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak tahu tentang apa yang diperselisihkan.”


Inilah perbedaan antara Khawarij dengan Ahlus Sunnah. Khawarij menganggap kafir kaum muslimin, dan khususnya Ahlus Sunnah, karena dianggap sebagai kelompok yang pro thaghut (pro pemerintah). Namun demikian kita tetap tidak mengkafirkan mereka. Inilah bijaknya Ahlus Sunnah. Mereka berjalan dengan ilmu, bukan dengan emosi. Mereka mengetahui bahwa hukum asal darah kaum muslimin adalah terjaga. Begitu pula dengan kehormatan dan harta kaum muslimin, semuanya terjaga.

Nabi menyatakan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim saat Haji Wada, beliau berkata:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ

“Sungguh darah, harta, dan kehormatan kalian adalah suci seperti sucinya hari ini (hari Arafah), seperti sucinya bulan ini (bulan Dzulhijjah) dan seperti sucinya negeri ini (Makkah), hingga hari kalian bertemu Rabb kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)

Karena itu kita jangan sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang sama dengan Khawarij. Yaitu tidak membedakan antara orang yang salah karena lupa, tidak tahu atau terpaksa, dengan para penentang Sunnah. Hingga akhirnya kita menyamaratakan dan menyikapi mereka dengan sikap yang sama, yaitu memusuhi dan menjatuhkan kehormatannya.
Kita harus menjaga agar darah kaum muslimin tidak tertumpah dengan cara yang dzalim, begitu pula dengan harta dan kehormatan mereka. Karena darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah suci sebagaimana sucinya Hari Arafah, sucinya Kota Mekkah, dan bulan Dzulhijjah. Kita harus menjaga kemuliaan darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin sebagaimana kita menjaga kemuliaan hari Arafah, Kota Makkah, dan bulan Dzulhijjah.

Dalam permasalahan ini memang ada pengecualian. Seperti dibolehkan untuk menumpahkan darah kaum muslimin karena qishash, hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, atau karena seseorang keluar dari agama Islam (murtad) yang tentunya semua ini dilakukan oleh penguasa. Ini adalah perkara pengecualian yang dibolehkan untuk menumpahkan darah seorang muslim. Dalam permasalahan harta, dibolehkan saat mengambilnya dalam rangka menjalankan perintah zakat. Sedangkan dalam masalah kehormatan, dibolehkan untuk menerangkan keadaan seorang mubtadi’ (ahlul bid’ah) -yang memiliki pemikiran berbahaya dalam masalah agama- di muka umum, sehingga umat Islam selamat dari pemikirannya.


Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah masalah harta. Seluruh kaum muslimin harus saling menjaga harta saudaranya. Jangan sampai kita merampas harta orang lain secara dzalim, jangan menipu, atau berhutang dengan niat untuk tidak membayar. Semua perbuatan ini juga terlarang sebagaimana terlarangnya menumpahkan darah kaum muslimin.
Sungguh merupakan kejadian yang benar-benar memalukan jika ada seorang yang mengaku Ahlus Sunnah memakan harta saudaranya dengan cara yang dzalim dalam masalah perdagangan atau hutang piutang hingga terjadi permusuhan di antara mereka. Terjadi saling boikot, saling tahdzir, saling mencela, dan sebagainya hanya karena semata-mata masalah uang. Masalah ini bisa menjadi besar dan berbahaya, yang semuanya berawal hanya karena tidak dijaganya harta sesama muslim.

Untuk urusan menumpahkan darah sesama muslim, barangkali Khawarij yang paling ahli. Namun untuk urusan memakan harta sesama muslim dengan cara yang dzalim, melanggar kehormatan saudaranya yang mestinya jangan sampai dilanggar, ternyata terjadi juga di kalangan orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah.

Karena itu saya wasiatkan kepada kita semua dan kaum muslimin, takutlah kepada Allah. Kita bicara tentang Khawarij, bahwa mereka itu kelompok sesat yang telah melanggar hadits Rasulullah n tentang larangan menumpahkan darah sesama muslim dengan cara yang dzalim, sementara di saat yang sama kita pun melanggar hadits tersebut pada sisi yang lain.

Perbuatan mengambil harta sesama muslim dengan cara yang batil atau melanggar kehormatannya, merupakan dua keharaman yang memiliki kedudukan sama sebagaimana larangan menumpahkan darah seorang muslim dengan cara yang batil. Karena tiga masalah ini disebutkan oleh Rasulullah n dalam satu hadits di atas sebagai perkara yang harus dijaga dan tidak boleh dilanggar.

Mari kita mulai dari yang kecil. Kita jaga kehormatan kaum muslimin, kita hormati sesama Ahlus Sunnah dengan tidak saling mengghibah dan mencari aib saudaranya. Bila kita dapati saudara kita berbuat keliru atau melakukan sebuah kemaksiatan, maka yang pantas dilakukan adalah memberi nasihat kepadanya dengan cara yang baik. Inilah semestinya sikap seorang Ahlus Sunnah kepada saudaranya. Bukan dengan mendiamkan dan kemudian menceritakan perbuatan saudaranya itu kepada orang banyak.

Di dunia ini tidak ada manusia yang terbebas dari kesalahan. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Bila setiap orang dicari-cari kesalahannya, niscaya tidak ada seorang pun yang selamat. Yang terjadi kemudian adalah saling membongkar aib, yang pada akhirnya jatuhlah kehormatan kaum muslimin secara bersama. Akan jeleklah keadaan kaum muslimin di mata orang lain.

Lebih-lebih bagi yang menyandang nama Ahlus Sunnah, bisa menyebabkan dakwah ini jatuh. Karena itu, jangan sampai kita menganggap remeh perkara ini. Ghibah kepada sesama muslim akan menyebabkan kehormatan kaum muslimin jatuh. Begitu pula ghibah kepada para dai dan lebih-lebih kepada para ulama, juga akan menyebabkan kehormatan mereka jatuh. Ini semua bisa menyebabkan rusaknya dakwah dan hilangnya ukhuwah Islamiyah.
Wallahu a’lam.

(Diambil dari ceramah beliau di Masjid Nurul Barokah, Yogyakarta, tanggal 27 Shafar 1428/19 Maret 2007)

Sumber: salafycirebon.com

Postingan Terkait